WELCOME TO MY BLOG

WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 23 Juni 2012

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Acut Limphosityc Leucemia


ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA


A.    PENGERTIAN  ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Acut limphosityc leukemia adalah proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).

B.     PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1.      Faktor eksogen
a.       Sinar x, sinar radioaktif.
b.      Hormon.
c.      Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
2.      Faktor endogen
a.       Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b.      Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c.       Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)

C.    PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).

D.    TANDA DAN GEJALA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
  1. Pilek tak sembuh-sembuh
  2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
  3. Demam, anoreksia, mual, muntah
  4. Berat badan menurun
  5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
  6. Nyeri tulang dan persendian
  7. Nyeri abdomen
  8. Hepatosplenomegali, limfadenopati
  9. Abnormalitas WBC
  10. Nyeri kepala
E.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:
  1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a.       Ditemukan sel blast yang berlebihan
b.      Peningkatan protein
  1. Pemeriksaan darah tepi
a.       Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b.      Peningkatan asam urat serum
c.       Peningkatan tembaga (Cu) serum
d.      Penurunan kadar Zink (Zn)
e.   Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
  1. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
  2. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
  3. Sitogenik :
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a.       Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b.      Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c.    Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat  kecil

 F.     PENGOBATAN PADA ALL
1.   Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi­kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda‑tanda DIC dapat dibe­rikan heparin.
2.   Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir­nya dihentikan.
3.     Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6‑merkaptopurin atau 6‑mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L‑asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami­sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama‑sama dengan prednison. Pada pemberian obat‑obatan ini sering terdapat akibat samping beru­pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti‑hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
4.      Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
5.  Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter­capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 ‑ 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti­kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6.      Cara pengobatan.
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman­nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
a.       Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba­gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam­pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b.      Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c.       Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat‑dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
d.      Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3‑6 bulan dengan pemberian obat‑obat seperti pada induksi se­lama 10‑14 hari.
e.       Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400­2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb­ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f.       Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.
(FKUI, 1985)

G.   MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Adanya keganasan menimbulkan masalah keperawatan, antara lain:
1.      Intoleransi aktivitas
2.      Resiko tinggi infeksi
3.      Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn
4.      Resiko cedera (perdarahan)
5.      Resiko kerusakan integritas kulit
6.      Nyeri
7.      Resiko kekurangan volume cairan
8.      Berduka
9.      Kurang pengetahuan
10.  Perubahan proses keluarga
11.  Gangguan citra diri / gambaran diri

H.       PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
1.      Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas:
a.       Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah.
b.      Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis
c.       Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan
d.      Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang
e.       Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari
f.       Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas
g.      Ketika kondisi membaik, dorong aktivitas sesuai toleransi
h.      Jika diprogramkan, berikan packed RBC
2.      Mencegah terjadinya infeksi
a.  Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu badan laporkan jika suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit.
b.     Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko infeksi meningkat, maka:
1).    Tampatkan pasien dalam ruangan khusus
2).  Sebelum merawat pasien: cuci tangan dan memakai pakaian pelindung, masker dan sarung tangan.
3).    Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi
c.     Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif
d.    Bantu ambulasi jika mungkin (membalik, batuk, nafas dalam)
e.     Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering.
f.      Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidrasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari
g.      Berikan terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jika diprogramkan
h.      Yakinkan pemberian makanan yang bergizi.
3.      Mencegah cidera (perdarahan)
a.  Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus.
b.      Pantau tanda vital dan nilai trombosit
c.    Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin  dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik
d.      Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak
e.       Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema
f.         Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan cidera fisik atau mainan yang dapat melukai kulit.
4.      Memberikan nutrisi yang adekuat
a.       Kaji jumlah makanan dan cairan yang ditoleransi pasien
b.      Berikan kebersihan oral sebelum dan sesudah  makan
c.       Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi
d.    Ubah pola makan, berikan makanan ringan dan sering, libatkan pasien dalam memilih makanan yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari
e.       Sajikan makanan dalam suhu dingin / hangat
f.  Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan.
5.      Mencegah kekurangan cairan
a.       Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
b.      Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi
c.       Hindari pemberian makanan dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah
d.      Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering
e.       Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi
6.      Antisipasi berduka
a.       Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga
b.      Berikan dukungan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif
c.       Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling
d.      Fasilitasi express feeling melalui permainan
7.      Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang:
a.       Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan.
b.      Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, infeksi dll.
c.       Aktivitas dan latihan sesuai toleransi
d.      Mengatasi kecemasan
e.       Pemberian nutrisi
f.       Pengobatan dan efek samping pengobatan
8.      Meningkatkan peran keluarga
a.       Jelaskan alasan dilakukannya setiap prosedur pengobatan / dianostik
b.      Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR
c.       Dorong keluarga untuk express feelings
d.      Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak
9.      Mencegah gangguan citra diri / gambaran diri
a.       Dorong pasien untuk express feelings tentang dirinya
b.      Berikan informasi yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat badan akan kembali naik jika terapi selesai dll.)
c.       Dukung interaksi sosial / peer group
d.      Sarankan pemakaian wig, topi / penutup kepala.

 
DAFTAR PUSTAKA

1.      Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.
2.      Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.
3.      Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya.
4.      FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.
5.      Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.
6.      Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC.
7.      Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC
8.      Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.



Minggu, 17 Juni 2012

Laporan Pendahuluan Rematik


REMATIK


A.    DEFINISI
ü Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien-pasien arthritis rheumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya (Mansjoer,dkk, 2002).
ü Penyakit rematik yang sering disebut arthritis (radang sendi) adalah penyakit yang mengenai otot-otot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada laki-laki maupun wanita dengan segala usia (Smeltzer, 2002).
ü Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Pada umumnya selain gejala artikuler, AR dapat pula menunjukan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah, atau gangguan organ nonartikuler lannya (Sjaifoellah, 2004).
ü Artritis rheumatoid adalah gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan adanya arthritis erosive pada sendi synovial yang simetris dan kronis yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat serta kecacatan (Davey, 2005).
ü Rematik adalah penyakit inflamasi sistemik kronik (peradangan menahun) yang tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membrane synovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi ( Rizasyah Daud, 1999).
ü Rematik (arthritis rheumatoid) adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai system organ yang dipengaruhi oleh imunitas (kekebalan0 dan tidak diketahui penyebabnya dimana terjadi destruksi sendi (kerusakan sendi) progresif ( Price & Wilson, 2006).

B.     EPIDEMIOLOGI
Prevalensi diseluruh dunia sebesar 1% dan kebanyakan terjadi di awal usia 40-an, walaupun dapat juga timbul pada manula. Penyakit ini 2-3 kali lebih sering pada wanita, namun perbandingan antar jenis kelamin bervariasi sesuai dengan usia (pada usia 30 tahun, perbandingan wanita : pria adalah 10 : 1, pada usia 65 tahun 1 : 1)

C.    ETIOLOGI
ü Faktor genetik
Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.

ü Faktor lingkungan termasuk infeksi oleh bakteri atau virus
Umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.

ü Faktor hormone estrogen
Sering dijumpai remisi pada wanita hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor ketidakseimbangan hormonal estrogen.

ü Faktor stress
Pada saat stress keluar heat shock protein (HSP) yang merupakan sekelompok protein berukuran sedang (60-90kDa) yang dibentuk oleh seluruh spesiaes pada saat stress.

ü Penuaan (usia 30-60 tahun)
Seiring dengan bertambahnya usia, struktur anatomis dan fungsi organ mulai mengalami kemunduran. Pada lansia, cairan synovial pada sendi mulai berkurang sehingga pada saat pergerakan terjadi gesekan pada tulang yang menyebabkan nyeri.

ü Inflamasi
Inflamasi meliputi serangkaian tahapan yang saling berkaitan. Antibodi immunoglobulin membentuk komplek imun dengan antigen. Fagositosis komplek imun akan dimulai dan menghasilkan reaksi inflamasi (pembengkakan, nyeri serta edema pada sendi).

ü Degenerasi
Degenerasi kartilago artikuler disebabkan oleh gangguan keseimbangan fisiologis antara stress mekanis dan kemampuan jaringan sendi untuk bertahan terhadap stress tersebut. Kartilago artikuler maupun tulang dapat normal, tetapi beban (gaya yang dihasilkan oleh berat tubuh) yang berlebihan pada sendi menyebabkan jaringan tersebut gagal, atau beban pada sendi secara fisiologis masuh layak, tetapi kartilago artikuler atau tulangnya tidak normal.
Kartilago artikuler memainkan dua peranan mekanis yang penting dalam fisiologi sendi. Pertama kartilago artikuler memberikan permukaan penahan beban yang licin secara nyata, dan bersama cairan synovial, membuat gesekan (friksi) yang sangat rendah dalam gerakan. Kedua, kartilago artikuler akan meneruskan beban atau tekanan pada tulang sehingga mengurangi stress mekanis.
a.       Stress mekanis
Kartilago artikuler sangat resisten terhadap proses pengausan dalam kondisi gerakan yang berkali-kali. Ketika seorang berjalan, 3-4 kali berat tubuh akan ditarnsmisikan melalui sendi lutut. Ketika sendi mengalami stress mekanis yang berulang, elastisitas kapsula sendi, kartilago artikuler dan ligamentum akan berkurang.
b.      Lempeng artikuler (tulang subkondrial)
Akan menipis dan kemampuannya untuk menyerap kejutan menurun. Terjadi penyimpangan rongga sendi dan gangguan stabilitas. Pada sat lempeng artiluker lenyap, osteofit akan terbentuk di bagian tepi permukaan sendi dan kapsula serta membrane synovial menebal. Kartilago sendi mengalami degenerasi serta atrofi (mengeriput), tulang mengeras dan mengalami hipertrofi (menebal) pada permukaan sendinya. Dan ligamentum akan mengalami kalsifikasi. Sebagai akaibatnya terbentuk efusi sendi yang steril dan sinovitis sekunder.
c.       Perubahan pelumasan
Disamping perubahan pada kartilago artikuler dan tulang subkondrial, pelumasan juga merupakan faktor degenerasi. Bersama dengan beban sendi (gaya yang dipikul lewat sendi), pelumasan bergantung pada lapisan tipis cairan intersisial yang terpecah dari kartilago ketika terjadi kompresi antar permukaan sendi yang berlawanan.
d.      Immobilitas
Degenerasi kartilago akibat immobilitas sendi dapat terjadi akibat gangguan kerja pemompaan lubrikasi yang terjadi pada gerakan sendi.

D.    PATOFISIOLOGI
Sendi merupakan bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit rematik. Inflamasi akan terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit rematik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang terjadi merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan synovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun.
Pada penyakit rematik degenerative dapat terjadi proses inflamasi yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif. Sinovitis dapat berhubungan dengan pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat.
RA merupakan manifestasi dari respon system imun terhadap antigen asing pada individu2 dengan predisposisi genetic.
Suatu antigen penyebab RA yang berada pada membrane synovial, akan memicu proses inflamasi. Proses inflamasi mengaktifkan terbentiknya makrofag. Makrofag akan meningkatkan aktivitas fagositosisnya terhadap antigen dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Setelah berikatan dengan antigen, antibody yang dihasilkan akan membentuk komplek imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan komplek imun ini akan mengaktivasi system komplemen C5a.
Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permiabilitas vaskuler, juga dapat menarik lebih banyak polimorfonukler (PMN) dan monosit kea rah lokasi tersebut.
Fagositosi komplek imun oleh sel radang akan disertai pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrin, prostaglandin yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Pengendapan komplek imun akan menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamine dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat yang akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan akhirnya terbentuk pannus.
Masuknya sel radang ke dalam membrane synovial akibat pengendapan komplek imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam pathogenesis RA. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblast yang berproliferasi, mikrovaskuler dan berbagai jenis sel radang. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerakan sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.

E.     MANIFESTASI KLINIS
Kriteria dari American Rheumatism Association (ARA) yang direvisi tahun 1987, adalah:
1.    Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Pasien merasa kaku pada persendian dan disekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal
2.    Artritis pada 3 daerah
Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian (soft tissue welling) atau lebih efusi, bukan pembesaran tulang (hyperostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersaman dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian yang memenuhi criteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan kanan.
3.    Artritis pada persendian tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas
4.    Artritis simetris
Maksudnya keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak
5.    Nodul rheumatoid
Yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah jukstaartikular dalam observasi dokter
6.    Faktor rheumatoid serum positif
Terdapat titer abnormal faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5 % kelompok control
7.    Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas
Gambaran khas RA pada radiografi tangan dan pergelangan tangan
Diagnosis arthritis rheumatoid ditegakkan sekurang-kurangnya terpenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 - 4 terdapat minimal selama 6 minggu.

 Dalam buku KMB  vol 3 hal 1801 Smeltzer :
ü Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi pada sendi yang terkena
ü Palpasi sendi akan terasa jaringan lunak seperti spon/busa
ü Pola khas dimulai dari sendi2 kecil pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Dengan semakin berlanjutnya penyakit, sendi lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, vertebra servikalis dan sendi temporomandibuler.
ü Gejala bilateral dn simetris
ü Awitan biasanya pagi hari
ü Deformitas tangan dan kaki karena immobilitas dalam waktu lama yang menyebabkan kontraktur
ü Demam, penurunan BB, mudah lelah, anemia, pembesan kelenjer limfe, dan fenomena Raynaud (vasospasme yang ditimbulkan oleh cuaca dingin dan stress sehingga jari-jari menjadi pucat dan sianosis.

F.     KOMPLIKASI
Kelainan system pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS).

G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.       Tes faktor reuma biasnya positif pada > 75 % pasien AR
b.      Protein C-reaktif biasnya positif
c.       LED meningkat
d.      Leukosit normal atau meningkat sedikit
e.       Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi kronik
f.       Trombosit meningkat
g.      Kadar albumin serum menurun dan globulin naik
h.      Pada pemeriksaan rontgen semua sendi dapat terkena, namun yang paling sering adalah sendi metatarsofalang dn biasnya simetris.

H.    PENATALAKSANAAN
a.       Penatalaksaan Medis
ü OAINS berupa aspirin (dibawah 65 tahun dosis 3-4 x 1 gr/hari), Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak dsb.
ü DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) jika respon OAINS tidak baik. Seperti klorokuin, sulfasalazin, D-penisilamin, garam emas, obat imunosupresif, kortikosteroid.
ü Pembedahan (jika berbagai cara pengobatan tidak berhasil)

b.      Rehabilitasi (untuk meningkatkan kualitas hidup pasien)
ü    Mengistirahatkan sendi yang terlibat
ü Modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri melalui arus listrik
ü Pemakaian alat bidai, tongkat, kursi roda, dll
ü Alat ortotik protetik
ü Occupational therapy
ü Mengurangi rasa nyeri
ü Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
ü Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
ü Mencegah terjadinya deformitas
ü Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
ü Memperthankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain
ü Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan

I.       PROGNOSIS
Perjalanan penyakit arthritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung kepada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50-75% pasien akan mengalami remisi dalam 2 tahun. Penyebab kematian adalah infeksi, penyakit jantung, gagal pernafasan, gagal ginjal dan penyakit saluran pencernaan.




DAFTAR PUSTAKA

Davey, Patrick. (2005). At A Glance Medicine. Jakarta: EGC

Mansjoer Arif, dkk. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid I.  Jakarta: Media Aesculapius

Sjaifoellah, Noer, dkk. (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Smeltzer & Barre. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC